Tangerang - mediarakyatnusantara.online,- Jagat maya dihebohkan dengan dugaan manipulasi serius dalam proses penyidikan yang dilakukan oknum aparat Kepolisian Resort Kota Tangerang. Seorang anggota polisi,yang kabarnya segera dipromosikan menjadi Wakapolres Cilegon,dituding melanggar etik berat dengan membuat dokumen penyidikan berisi kronologi peristiwa yang belum terjadi.
Dalam dokumen resmi tertanggal 19 Juni 2025, tercatat peristiwa yang baru akan terjadi pada 20 dan 21 Juni 2025. Temuan janggal ini menimbulkan pertanyaan publik: apakah ini kelalaian prosedural, atau justru praktik manipulasi hukum yang disengaja?
“Kalau peristiwa terjadi 20, maka tulis 20. Tidak bisa dicampur aduk. Dokumen hukum tidak boleh berisi ramalan. Ini bukan fiksi ilmiah, ini penyidikan,” tegas Andri Setiawan, S.H., dari Law Office Danau & Partners.
Kasus yang disorot adalah perkara hukum Arma alias Bapak Al, seorang warga sipil yang dituduh melakukan pencabulan anak di bawah umur. Proses hukumnya dinilai mencurigakan cepat: penangkapan, penetapan tersangka, hingga penahanan berlangsung tanpa transparansi alat bukti yang jelas.
Lebih aneh lagi, satu-satunya saksi fakta adalah istri Arma yang justru memberikan alibi langsung bahwa suaminya tidak melakukan perbuatan tuduhan.
“Saya sudah sampaikan ke penyidik, tapi keterangan saya diabaikan,” ucap sang istri dengan suara bergetar.
Padahal, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo berulang kali menegaskan komitmen reformasi internal Polri: menjunjung integritas dan menindak tegas setiap pelanggaran etika. Namun realita di lapangan, kasus serupa terus berulang, membuat masyarakat kehilangan kepercayaan.
Kombes Ahmad Ramadhan, Kabagpenum Mabes Polri, pernah menyatakan bahwa “oknum yang menyalahgunakan wewenang tidak mewakili institusi.” Tapi publik kini balik bertanya: jika tidak mewakili institusi, mengapa institusi diam?
Kasus ini lebih dari sekadar isu viral di media sosial. Ia adalah alarm keras bahwa ada potensi disfungsi sistemik dalam tubuh penegak hukum. Bila benar dokumen hukum bisa “menebak masa depan”, maka berapa banyak kasus lain yang diam-diam direkayasa serupa?
Masyarakat kini menunggu langkah nyata dari pimpinan Polri. Klarifikasi normatif tidak cukup.yang dituntut adalah transparansi, evaluasi menyeluruh, dan tindakan tegas. Sebab tanpa itu, keadilan akan terus dipandang sebagai ilusi, bukan kenyataan. (Nana.h)